Memuliakan Guru versus Hari Guru
Guru ialah orang berilmu yang berusaha menyampaikan pelajaran kepada anak muridnya. Tulisan ini memfokuskan guru sebagai orang yang mengajarkan ilmu berdasarkan Al-Qur’an dan hadis. Kata Imam Asy-Syafi’i rahimahullah,
“Ilmu itu ialah Al-Qur’an dan hadis, selainnya itu hanya menyibukkan.”
Perlu diberi catatan, cakupan ilmu Al-Qur’an dan hadis luas. Bukan sekadar hukum fikih, solat, haji, haidh dan nifas. Amr Bin Ubaid pernah menuduh ilmuwan dan sarjana tersohor Islam Imam As Syafi’i dengan, “Sesungguhnya ilmu As Syafi’i dan Abu Hanifah semuanya tidak keluar dari seluar dalam wanita”.
Namun Imam As Syatibi membantah perkataan ahli bid’ah tersebut dalam kitabnya Al I’tisam: “Inilah bualan orang yang menyeleweng. Semoga Allah membinasakan mereka”. Mereka menyangka bahawa ulama’ Ahlus Sunnah itu hanya mengerti hukum fiqh semata-mata tanpa mempedulikan masalah dunia dan disiplin ilmu yang lain. Mereka menyangka bahawa ulama’ Ahlus Sunnah itu hanya bisa mengajar di halaqah tanpa pernah terjun ke dalam badai da’wah dan mehnah. (Abu Amru Mohd Radzi Othman, Imam Syafi’e Hanya Mengetahui Ilmu Haid)
Kelebihan Guru
Keutamaan guru sangat banyak.
Pertamanya mereka adalah orang yang berilmu. Sungguh banyak pujian dan pengiktirafan Allah terhadap orang-orang yang berilmu berbanding rang yang tidak berilmu.
“Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al-Mujadilah: 11)
“Para ulama adalah pewaris para nabi. Para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham (harta). Mereka hanyalah mewariskan ilmu. Barang siapa yang mengambilnya sungguh dia telah mengambil bagian yang banyak (menguntungkan).” (HR. Ahmad, At-Tirmidzi dan Abu Dawud. Asy-Syaikh Al-Albani mengatakan sanadnya hasan dalam Shahih at-Targhib wat Tarhib 1/139)
Kedua, guru berperanan menyampaikan ilmu kepada anak murid dan masyarakat. Allan dan Rasul menjanjikan ganjaran yang banyak kepada orang yang sanggup berkorban menyampaikan ilmu.
Satu darinya ialah mereka melaksanakan tuntutan dan kewajipan dalam menuntut ilmu. Sahabat Abdullah bin ‘Amr ra. melaporkan dari Nabi s.a.w,
“Sampaikanlah (apa yang kamu dapat) dari ku walau satu ayat sekalipun; dan ceritakanlah (apa yang sampai kepada kamu) darihal Bani Israel dan (dalam pada itu) tidak ada salahnya (kalau kamu tidak ceritakan). Dan (ingatlah!) sesiapa yang berdusta terhadapku dengan sengaja, maka hendaklah ia menyediakan tempatnya dalam neraka. (HR Bukhari dan Tirmizi)
Sahabat Abi Bakrah r.a. melaporkan dari Nabi s.a.w., katanya,
“Hendaklah orang yang hadir (mendengar hadis ku) menyampaikannya kepada orang-orang tidak hadir kerana sesungguhnya diharap orang yang disampaikan hadis itu kepadanya lebih hafaz dan lebih faham daripada yang menyampaikannya. (Bukhari dan Muslim)
Guru juga mendapat doa dari penduduk langit dan bumi. Sahabat Abi Umamah al-Bahiliy melaporkan, Rasulullah berkata,
“Sesungguhnya Allah, malaikat dan ahli (penduduk) langit dan bumi; hinggakan semut di dalam lubang dan juga ikan paus (meliputi seluruh haiwan di darat dan di laut) mendoakan kebaikan ke atas orang yang mengajar perkara yang baik kepada manusia.” (HR Tirmidzi)
Guru juga dijanjikan pahala amal berpanjangan. Ini seperti yang dilaporkan oleh sahabat Abu Hurairah r.a daripada Nabi,
“Sesiapa yang mengajak kejalan mengerjakan sesuatu amal yang baik, adalah baginya pahala sebanyakpahala orang-orang yang menurutnya, dengan tidak mengurangi sedikit pun pahala itu dari pahala-pahala mereka; dan (sebaliknya) sesiapa yang mengajak kejalan mengerjakan sesuatu amal yang menyesatkan, adalah ia menanggung dosa sebanyak dosa orang-orang yang menurutnya, dengan tidak mengurangi sedikit pun dosa itu dan dosa-dosa mereka.” (Muslim, Abu Daud dan Tirmizi)
Sahabat Zaid bin Thabit r.a., melaporkan Nabi s.a.w., berkata,
“SemogaAllah menyerikan wajah dan memperelokkan keadaan orang yang mendengar dari kami sebarang hadis lalu ia memeliharanya (dengan ingatannya atau dengan tulisannya), supaya ia dapat menyampaikannya (kepada orang lain); – kerana boleh jadi ada pembawa sesuatu hadis hukum kepada orang yang lebih faham daripadanya dan boleh jadi juga pembawa sesuatu hadis hukum itu, ia sendiri bukanlah seorang yang memahaminya.”(Tirmizi dan Abu Daud)
Beberapa Adab Dengan Guru
Seorang guru tidak mengharapkan hadiah, sanjungan atau penghargaan yang melampau-lampau dari anak muridnya. Memadai dengan ucapan terima kasih dan doa-doa kesejahteraan dari anak didiknya.
Perkara yang paling membahagiaka buat seorang guru ialah apabila melihat anak muridnya menuntut ilmu dengan baik darinya dan berhasil mengamalkan ilmu yang dipelajari.
Imam Abdullah ibn Mubarak mewasiatkan beberapa adab dalam menuntut ilmu sekaligus adab bersama dengan guru. Beliau merupakan seorang tokoh sarjana hadis generasi tabi’in dan mendapat gelar amirul mukminin dalam ilmu hadis. Adab belajar ialah : mengikhlaskan niat, mendengar dengan baik, membuat catatan, cuba untuk memahami, beramal dengan ilmu dan akhir sekali ialah menyampaikan ilmu yang dipelajari.
Ustadz Abul Abbas Muhammad Ihsan menulis beberapa adab-adab yang dituntut terhadap guru. http://www.asysyariah.com/syariah/akhlak/833-menghormati-dan-memuliakan-ulama-akhlak-edisi-61.html
1. Bersyukur (berterima kasih) kepada mereka kerana Allah
Kata Nabi,
“Tidak akan bersyukur kepada Allah, orang yang tidak berterima kasih kepada orang lain.” (HR. Abu Dawud no. 4177, lihat Ash-Shahihah no. 416)
Yahya bin Mu’adz Ar-Razi t (wafat 258 H) berkata,
“Para ulama lebih mengasihi dan menyayangi umat Muhammad n daripada ayah dan ibu mereka.” Beliau ditanya, “Bagaimana hal itu bisa terjadi?” Beliau n menjawab, “Bapak dan ibu mereka melindungi mereka dari api dunia, sedangkan para ulama melindungi mereka dari api akhirat.” (Mukhtashar Nashihat Ahlil Hadits hlm. 167)
2. Menaati mereka dalam hal yang baik
Allah berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya), dan ulil amri di antara kalian.” (An-Nisa’: 59)
Asy-Syaikh Muhammad bin Umar bin Salim Bazmul hafizhahullah mengatakan, “Yang dimaksud ulil amri adalah umara (para penguasa) dan ulama. Karena itu, ketaatan kepada ulama itu mengikuti ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, sedangkan ketaatan kepada para penguasa mengikuti ketaatan kepada para ulama. Pintu ketidaktaatan terhadap para penguasa dan pemimpin tergantung kepada para ulama, sehingga apabila hak-hak para ulama ditelantarkan niscaya hak-hak para penguasa akan hilang pula. Bila hak-hak para ulama dan umara hilang, umat manusia tidak akan menaati mereka, padahal hidup dan baiknya ulama adalah penentu kehidupan dan kebaikan alam ini. Apabila hak-hak para ulama tidak dipedulikan, akan hilang hak-hak para umara. Dan ketika hak-hak para ulama dan umara hilang, hancurlah kehidupan alam semesta!” (Makanatul ‘Ilmi wal ‘Ulama, hlm. 16—17)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin t mengatakan, “Bila para ulama dihormati, syariat pun akan dimuliakan, karena mereka adalah pembawa syariat tersebut. Namun, bila para ulama direndahkan, syariat juga akan dihinakan, karena apabila kewibawaan para ulama telah direndahkan dan dijatuhkan di mata umat, syariat yang mereka bawa akan dihinakan dan tidak bernilai. Setiap orang akan meremehkan dan merendahkan mereka. Akibatnya, syariat pun akan hilang.
Para penguasa pun demikian keadaannya: wajib dimuliakan, dihormati dan ditaati, sesuai dengan ketentuan syariat-Nya. Apabila kewibawaan penguasa direndahkan, dihinakan, dan dijatuhkan, hilanglah keamanan (ketenteraman) masyarakat. Negara menjadi kacau, sementara penguasa tidak memiliki kekuatan dan kemampuan untuk melaksanakan dan menegakkan peraturan. Oleh karena itu, apabila kedua golongan ini, ulama dan umara, direndahkan di mata umat, syariat akan rusak dan keamanan akan hilang. Segala urusan menjadi kacau-balau.” (Syarh Riyadhish Shalihin, 2/110)
3. Mengikuti bimbingan dan arahan mereka
Allah berfirman menceritakan dialog Nabi Ibrahim q dengan ayahnya:
“Wahai ayahku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus.” (Maryam: 42)
Asy-Syaikh Muhammad Bazmul hafizhahullah mengatakan, “Barang siapa yang mengikuti para ulama berarti dia mengikuti jalan yang lurus. Adapun yang menyelisihi ulama dan tidak memedulikan hak-hak mereka berarti dia telah keluar (dan mengikuti) jalan setan. Dia telah memisahkan diri dari jalan yang lurus, yaitu jalan Rasul-Nya n dan yang ditempuh para sahabat g.” (Makanatul ‘Ilmi wal ‘Ulama, hlm. 18)
4. Mengembalikan urusan umat kepada mereka. Allah berfirman:
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (An-Nahl: 43)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t mengatakan, “Para ulama ahlul hadits lebih mengetahui maksud Rasulullah n daripada pengetahuan para pengikut imam-imam (mazhab) terhadap maksud imam-imam mereka.” (Minhajus Sunnah)
Berdasarkan bukti-bukti ini menunjukkan Islam begitu memuliakan guru yakni orng-orang yang berilmu dan orang yang berusaha menyampaikan ilmu. Banyak ulama’ mengarang kitab khusus membicarakan tentang ilmu dan adab-adab bersama guru. Antara yang paling dikenali ialah karangan al-Hafidz Ibnu Rejab al-Hanbali.
Namun begitu adab dan akhlak terhadap guru dan ulama’ ini telah disudut dan di’kompres’ pada satu hari dalam setahun yakni 16 Mei. Tentu sahaja ia merupakan sumbangan tangan-tangan Yahudi untuk merosakkan ajaran Islam yang begitu menyanjung dan memuliakan guru. Sejarah merakamkan orang-orang Yahudi tidak pernah berhenti bekerja untuk memesongkan umat Islam dari ajaran Kitab dan Sunnah. Mereka mempeloposi berbagai-bagai sambutab perayaan sepanjang tahun dari Hari Buruh, Hari Ibu, Hari Bapa, Hari Valentine, Hari Guru, Hari Alam Sekitar, Hari Kanak-Kanak Sedunia dan baru-baru ini dilancarkan pula Hari Tari Menari.
Fatwa Tentang Hari Guru
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, bekas mufti Kerajaan Arab Saudi pernah ditanya tentang hukum menyambut hari guru. Jawap beliau,
“ Perayaan Hari Guru tiada asal (dalil), tiada bagi manusia itu perayaan yang dikenali (diiktiraf) kecuali perayaan Eidul Fitri dan Eidul Adha dan Hari-hari Mina (Tasyriq) termasuk hari raya demikian hari Arafah, hari di mana perhimpunnya kaum muslimin.
Adapun Hari Guru atau Sambutan Kelahiran di setiap awal tahun, semua ini tiada asal (dalil) padanya, tidak perayaan Maulid dan selain Maulid melainkan perayaan-perayaan Syar’ie yang dikenali sahaja.
Dan maksud ‘Eid itu adalah apa yang kembali dan berulang-ulang sama ada dengan berulangnya bulan, minggu, atau tahun, maka barangsiapa menjadikan perayaan selain itu (perayaan Syar’ie) sama ada untuk kelahiran anaknya, atau perayaan Hari Guru Lelaki atau Perempuan, ini tidak ada asal baginya bahkan dianggap perkara Bidaah dan hadiah-hadiah itu janganlah kamu menerimanya dan beritahu kepada mereka: Ini tidak patut dilakukan dan tidak patut disambut Hari Guru.
[Fatwa Nur ‘ala Al-Darbi, Imam Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz (rh), Kaset No; 214, Soalan ke-5]. Lihat: Fatawa Nur ‘Ala al-Darbi oleh Imam Ibn Baz, himpunan Muhammad al-Syuwai’ier, 3/111,
Read Full Post »